Tentara Anak

Dikisahkan Manju Gurung, seorang gadis berusia 18 tahun yang telah dipaksa bergabung dengan gerilyawan Maois Nepal (Kelompok Oposisi) sejak berusia 13 tahun. Kaum Maois datang ke desanya di Nepal Tengah pada September 2005. Maois menuntut setiap keluarga mengirim salah seorang anggota keluarganya bergabung kedalam sebuah program yang dilaksanakan kelompok pemberontak itu selama tujuh hari. Ternyata janji seminggu mundur sampai beberapa tahun dan selama tahun-tahun tersebut Manju harus menjelajahi hutan selama 14 jam, belajar menggunakan AK-47 dan pernah diangkat seorang komandan perang.
Sedangkan di belahan dunia lainnya, tepatnya di Yaman pada 2009, sebanyak 187 tentara yang berusia kurang dari 18 tahun di kirim ke garis depan ladang pertempuran. Hasilnya sangat mencengangkan, 71% tewas saat pertempuran, sedangkan 29% lainnya tewas karena kekurangan makanan. Dalam laporan yang diserahkan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Ban Ki-Moon, kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa malahan menyebutkan ada dua pihak yang mencoba membunuh anak-anak dalam konflik yaitu Pemerintah Somalia dan kelompok Militan Al Shahab, yang mencoba menggulingkan pemerintahan Somalia. Laporan itu pertama kali menyebutkan tujuh pihak yang melakukan perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak, enam kasus di Kongo dan Tentara Perlawanan Tuhan di Uganda.
Inilah kenyataan yang dihadapi oleh sekitar 300.000 anak yang tersebar di seluruh dunia. Anak-anak yang harusnya dilindungi dan dijaga malahan diperlakukan seperti sumberdaya tak terbatas yang juga dieksploitasi secara tak terbatas. Pengeksploitasian yang kini kian marak menemukan bentuk baru yang lebih ekstrim, yaitu dengan merekrut anak-anak sebagai tentara perang.
Secara historis, keterlibatan anak-anak dalam peperangan telah berlangsung sejak abad ke 18. Saat itu anak-anak hanya dikatakan sebagai penggembira saja, yaitu sebagai penabuh genderang perang, lambat laun posisi anak dalam perang semakin sentral, anak-anak diangkat menjadi kadet yang berfungsi untuk membantu angkatan perang. Sejalan dengan perkembangan perang tersebut muncullah angkatan perang baru yang bernama tentara anak (Child Soldiers).
Permasalahan Child Soldiers ini telah benar-benar mendunia, tidak hanya di benua Afrika yang  sampai saat ini masih saja diwarnai konflik saudara ataupun benua Asia saja, tapi juga di Eropa, bahkan di benua Amerika. Pada tahun 1990-an di Amerika Latin terdapat tentara anak yang tergabung dalam angkatan bersenjata di El Salvador, Ekuador, Guatemala, Mexico, Nicaragua, Paraguay, Kolombia dan Peru. Bahkan di Kolombia ada sebutan khusus untuk tentara anak yakni “Little Bells”. Lainnya terjadi di kawasan Timur Tengah (Afghanistan, Irak, Palestina, dan lain-lain), Afrika Utara (Kongo, Sudan, Somalia, Uganda, dan lain-lain), Asia Selatan (Sri Lanka, India, Nepal dan lain-lain), dan Asia Tenggara (Myanmar, Filipina, Indonesia, dan lain-lain). Khusus di Asia, tentara anak tersebar dari Mindanau ke Manipur, kemudian dari Aceh ke Jaffna juga di Maluku.
Keterlibatan seorang anak ke dalam suatu angkatan atau kelompok bersenjata dipengaruhi beberapa hal, antara lain karena faktor ekonomi, sosial politik suatu negara yang dilanda konflik, atau lingkungan sekitar. Anak-anak yang dijadikan tentara anak tersebut terpaksa berkenan menjadi tentara anak karena sebelumnya pihak yang merekrut tentara anak tersebut telah menjanjikan kesejahteraan bagi perekonomian keluarga anak tersebut.
Dalam kondisi yang berbeda, kekacauan politik suatu negara yang dilanda konflik menyebabkan banyak tentara yang gugur saat perang terjadi sehingga menjadikan anak-anak sebagai alternatif untuk dijadikan serdadu/tentara. Semakin tidak stabil perpolitikan suatu negara, semakin besar pula penggunaan anak-anak dijadikan tentara anak. Adapula karena faktor lingkungan sekitar yang sangat mempengaruhi perkembangan psikologis anak, seperti desakan dari teman-teman, konflik keluarga, atau rasa ingin pamer kepada teman-temannya agar disebut sebagai ”pahlawan”, menjadi salah satu faktor anak dengan sukarela berkenan dalam angkatan/kelompok bersenjata.
Namun apapun motifnya, penggunaan tentara anak tetap tidak bisa dibenarkan. Karena hal ini bertentangan dengan Hukum Internasional yang diatur dalam Protokol Tambahan Tahun 1977, Konvensi Hak Anak Tahun 1989 dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Larangan Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata Tahun 2000. Lebih jauh lagi, adalah merupakan suatu kesalahan yang fatal bagi suatu bangsa jika membiarkan anak-anak yang notabene merupakan kunci takdir keberadaan suatu bangsa di masa depan, tewas sia-sia di medan perang atau cacat lahir dan batinnya. Karena anak-anak adalah pewaris dan penjamin eksestensi bangsa, maka selama anak-anak berada dalam keadaan aman dan tercukupi segala kebutuhannya, maka selama itu pula bangsa tersebut akan eksis dan lestari. 
      

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Back
to top