Permasalahan peningkatan pajak film impor yang berimbas pada pemutusan pendistribusian film Hollywood ahir-ahir ini jadi trending topic dibeberapa jejaring sosial kayak facebook, twitter dan friendster (iya. friendster yang telah kehilangan masa jayanya. halah). Kata kompas.com sih alasan utamanya karena:
Pada 10 Januari 2011, pemerintah menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemasukan Film Impor. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebutkan hal ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan dalam industri perfilman di Indonesia.Jadilah
Wakil Presiden Motion Pictures Associatian (MPA) untuk Asia Pasifik, Frank S Rittman, Kamis lalu, menyatakan bahwa asosiasi produsen film besar dari AS ini memutuskan untuk tidak mendistribusikan film di Indonesia selama pemerintah tetap memberlakukan ketentuan perpajakan yang baru terkait pengenaan royalti film impor
Otomatis permasalahan ini menimbulkan beragam pro dan kontra terutama dari kalangan sineas Indonesia (seperti saya #ngaku2). ring kontra (yang mayoritas terdiri dari pengusaha bioskop) berasumsi bahwa kebijakan ini akan membuat banyak bioskop gulung tikar karena berdasarkan data Lembaga Sensor Film, pada tahun 2010 terdapat 180 film impor dan 81 film nasional yang diputar di bioskop-bioskop Tanah Air. Maka Film Indonesia dianggap belum cukup mampu untuk mengisi kekosongan bioskop. Apalagi film Indonesia ahir-ahir ini mayoritas diwarnai oleh film yang bergenre horor dengan taburan artis2 dengan label porno (bahkan sampai mengundang miyabi, jadi gak sih?) membuat sebagian masyarakat jijik ilfiil datang ke bioskop (oke. ini emang opini yang subjektif).
Disisi lain, ring pro berasumsi kebijakan ini dinilai akan sangat menguntungkan perfilman Indonesia karena selama ini, pajak yang dibebankan pada film Indonesia lebih besar dibanding pajak yang dibebankan untuk film impor. seperti kata kompas.com (lg) :
Pajak impor cuma dibebani per satu kopi film, yakni Rp 1 juta per kopi. Rata-rata film impor menyetor lebih kurang Rp 15 juta per judul untuk 15 kopi film. Dalam 12 tahun terakhir, film asing yang diimpor rata-rata 180 judul dengan total kopi sekitar 2.500 kopi sehingga rata-rata hanya 15 kopi per judul.
Sementara itu, film nasional harus membayar pajak untuk beberapa hal, mulai dari bahan baku, peralatan produksi, pajak atas artis, karyawan, pajak saat proses produksi, pajak pasca-produksi, dan untuk penggandaan kopi film. Jadi, jika dihitung, maka produser film nasional harus menyiapkan 10 persen lebih untuk pajak. Film seperti Laskar Pelangi atau Ayat-Ayat Cinta yang biaya produksinya Rp 5 miliar harus mengeluarkan pajak senilai Rp 500 juta.
Disisi lain, dengan berkurangnya film impor maka sineas Indonesia seharusnya akan benar-benar menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Lagipula kebijakan yang diterapkan pemerintah juga telah diterapkan oleh negara lain seperti di Thailand pajak film menggunakan sistem per meter panjang film tersebut. Angkanya 1 dollar AS per meter. Rata-rata setiap kopi film impor mengeluarkan 3.000 dollar AS per kopi atau lebih kurang Rp 30 juta. Itu artinya 30 kali lipat lebih besar dari pajak yang dipungut oleh Pemerintah Indonesia. Bahkan jika dibandingkan Thailand pajak yang ingin diberlakukan pemerintah Indonesia lebih rendah karna hanya seharga
0,43 dollar AS per meter.
Nah, kalau saya boleh menyimpulkan menurut boros hemat saya, sebenarnya kenaikan pajak ini sah-sah aja dilakukan. Namun pemerintah hendaknya tetap mengadakan negoisasi dengan asosiasi distributor film impor agar mereka tetap mau mendistribusikan filmnya ke Indonesia walaupun dengan jumlah yang tidak sebanyak sebelumnya. Karena saya haqul yakin bahwa banyak masyarakat Indonesia yang tak sanggup hidup tanpa menonton film-film impor seperti harry potter, night at the museum, green hornet, twilight, the chronicles of narnia, dsb dan ah ya film bollywood, chinawood, japanwood (halah :p) dll. Dan jika negosiasi tersebut gagal, niscaya fenomena kasus pembajakan akan kian meningkat (dan saya akan ikut memeriahkannya dgn ikut membeli kaset bajakan. rasakan! hahaha). Karena rasanya saat ini industri perfilman Indonesia belum benar-benar siap untuk memenuhi seluruh permintaan pasar, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dan lagi tak bisa dipungkiri bahwa beberapa film impor sebenarnya sangat berguna untuk menambah wawasan dan mencerdaskan kehidupan berbangsa serta turut serta menjaga perdamaian dunia (oke itu pembukaan UUD). Lebih jauh lagi, kedepannya dana hasil pajak ini harus dipergunakan untuk peningkatan film Indonesia agar capaian utama diadakannya kebijakan ini benar-benar bisa tercapai. yaitu menjadikan film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri ini sekaligus di hati semua masyarakat Indonesia. Caranya? ya harus bikin film berkualitas sebanyak mungkin dong!
sudikah anda mengisi hidup dengan film seperti ini?
bagaimana dengan yang ini?
siapkah kehilangan ini? T.T
semoga masalah ini ber-happy ending. amiin :)
0 komentar:
Posting Komentar